Harakatuna.com. Khartoum — Pemerintah Sudan secara resmi meminta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk membentuk Rapid Support Forces (RSF) atau Pasukan Dukungan Cepat sebagai organisasi teroris. Pengaduan ini disampaikan menyusul meningkatnya aksi kekerasan dan dugaan pembunuhan terhadap warga sipil di kawasan Darfur Utara.
Duta Besar Sudan untuk PBB, Al-Harith Idris, mengatakan bahwa pemerintah Sudan mendesak Dewan Keamanan PBB untuk segera mengambil langkah konkret guna menghentikan kekejaman yang dilakukan oleh RSF, terutama di Kota El Fasher yang kini berada dalam situasi krisis kemanusiaan.
“Kami mendesak Dewan Keamanan untuk menegakkan kepatuhan terhadap Resolusi 2736. RSF harus segera menghentikan pengepungan di El Fasher dan menghentikan permusuhan tanpa berkepanjangan,” ujar Idris dalam sidang Dewan Keamanan di Markas PBB, New York, seperti dikutip dari MINA News, Kamis (30/10/2025).
Idris menegaskan, tindakan RSF telah melampaui batas kesejahteraan. Menurutnya, lebih dari 500 pasien dilaporkan tewas di rumah sakit terakhir yang masih beroperasi di El Fasher akibat pengepungan dan serangan brutal yang dilakukan milisi tersebut.
“RSF telah melakukan kejahatan kemanusiaan secara besar-besaran. Warga sipil terbunuh, rumah sakit dihancurkan, dan ribuan orang terusir dari tempat tinggal mereka,” tegasnya.
Pemerintah Sudan menuduh RSF melakukan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, termasuk pembunuhan massal, penjarahan, serta penyerangan terhadap fasilitas publik. Pemerintah juga meminta agar Dewan Keamanan menjatuhkan sanksi internasional terhadap pihak-pihak yang memberikan dukungan logistik dan senjata kepada RSF.
“Kami mengirimkan bantuan agar siapa pun yang berhubungan atau memberikan kepada RSF dijatuhi hukuman dan dikenai sanksi internasional,” tambah Idris.
Sementara itu, organisasi internasional seperti Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) mencatat bahwa lebih dari 62.000 warga sipil terpaksa mengungsi akibat konflik dan kekerasan yang dilakukan oleh RSF di wilayah Darfur.
Sejumlah pengamat HAM juga mendukung desakan Sudan tersebut. Mereka menilai tindakan RSF sudah memenuhi unsur kejahatan perang dan genosida karena menyasar warga sipil tanpa pandang bulu.
“Kekerasan yang dilakukan RSF bukan sekedar pelanggaran HAM biasa, tapi sudah mengarah pada genosida,” ujar salah satu pengamat HAM yang hadir dalam pertemuan tersebut.
RSF sendiri merupakan kelompok paramiliter yang sebelumnya terlibat dalam konflik internal Sudan sejak pecahnya perang pada tahun 2023 melawan militer pemerintah. Kelompok ini bertanggung jawab atas serangkaian kekerasan di Darfur dan sejumlah wilayah lain di Sudan.
Pemerintah Sudan menegaskan bahwa langkah untuk mendesak PBB ini adalah bagian dari upaya menegakkan keadilan bagi korban serta menjaga stabilitas nasional.
“Kami akan terus berjuang agar dunia internasional tidak menutup mata terhadap penderitaan rakyat Sudan,” tutup Idris.