Harakatuna.com. Beirut – Hampir satu tahun setelah kesepakatan gencatan senjata yang ditengahi oleh komunitas internasional, ketegangan di perbatasan selatan Lebanon kembali meningkat. Israel melaporkan terus melancarkan serangan udara ke wilayah Lebanon, termasuk serangan terbaru yang menargetkan fasilitas sipil. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran bahwa pola kekerasan serupa dapat terjadi di Gaza, yang saat ini juga berada dalam masa gencatan senjata yang rapuh.
Pada tanggal 11 Oktober 2025, sebuah serangan udara Israel menghantam sebuah perusahaan alat berat di Lebanon selatan. Serangan tersebut menghancurkan satu warga Suriah, melukai tujuh orang lainnya, termasuk dua perempuan, serta menghancurkan sejumlah peralatan konstruksi senilai jutaan dolar.
Meskipun gencatan senjata antara Israel dan kelompok Hizbullah telah terjadi sejak akhir tahun 2024, fakta di lapangan menunjukkan bahwa pertempuran belum benar-benar berhenti. Ketentuan dalam kesepakatan tersebut mengizinkan tindakan “pertahanan diri” dari kedua belah pihak, namun definisi dan implementasinya sangat kabur.
Data dari kelompok pemantau menunjukkan bahwa sejak gencatan terjadi, terdapat lebih dari 270 korban jiwa dan 850 luka-luka di Lebanon, di mana setidaknya 107 korban merupakan warga sipil. Selama periode ini, tercatat 950 proyektil dan sekitar 100 serangan udara dilakukan oleh Israel ke wilayah Lebanon. Sebagai perbandingan, kelompok bersenjata Lebanon hanya meluncurkan 21 proyektil ke wilayah Israel.
Pakar Timur Tengah dari Center for Strategic and International Studies, Mona Yacoubian, menyebut bahwa gencatan senjata yang berlaku merupakan “lessfire” – istilah yang menggambarkan gencatan senjata yang hanya berlangsung di atas kertas namun tidak sepenuhnya dihormati oleh para pihak di lapangan.
“Apa yang terjadi di Lebanon bisa menjadi gambaran awal atas apa yang mungkin terjadi di Gaza. Jika tidak ada mekanisme penegakan gencatan yang kuat, kita hanya akan menyaksikan babak kekerasan berikutnya,” ujar Yacoubian.
Analis militer juga menyoroti bahwa pasca konflik 2024, keseimbangan pencegahan (pencegahan) antara Israel dan Hizbullah telah terganggu. Hal ini membuka celah bagi eskalasi lanjutan di masa depan, baik di Lebanon maupun di wilayah-wilayah lain yang terlibat konflik.
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran serius di kalangan diplomat dan lembaga kemanusiaan, mengingat Gaza saat ini tengah menjalani masa gencatan senjata yang sangat rentan terhadap pelanggaran, serupa dengan situasi di Lebanon.