Harakatuna.com. Bagdad — Pemerintah Irak memutuskan untuk mempertahankan sejumlah kecil pasukan penasihat Amerika Serikat (AS) di wilayahnya. Keputusan ini diambil demi menjaga koordinasi dengan pasukan AS di Suriah dalam rangka memerangi sisa-sisa kelompok teroris Islamic State (ISIS).
Perdana Menteri Irak, Mohammed Shia al-Sudani, dalam pernyataan resminya menegaskan bahwa pasukan tersebut bukan merupakan pasukan tempur, melainkan berperan sebagai penasihat dan penghubung antara operasi Irak dan pendukung di Suriah.
“Kami akan tetap mempertahankan keberadaan terbatas pasukan penasihat Amerika untuk mendukung koordinasi dengan pasukan perdamaian di Suriah. Kondisi keamanan di sana masih berpengaruh langsung terhadap stabilitas Irak,” ujar al-Sudani seperti dikutip dari UNB/AP, Senin (20/10).
Al-Sudani menambahkan, keputusan ini tidak mengubah komitmen Irak terhadap perjanjian sebelumnya yang bertujuan untuk menyetujui pasukan pimpinan AS dari negara tersebut. Menurutnya, dinamika keamanan di kawasan perbatasan Suriah-Irak membuat keberadaan pasukan terbatas masih diperlukan. “Ancaman ISIS di dalam negeri sudah menurun drastis, namun kondisi di Suriah masih memerlukan pengawasan bersama,” tambahnya.
Menurut laporan UNB, sekitar 250 hingga 350 personel AS akan tetap ditempatkan di Pangkalan Udara Ain al-Asad, Provinsi Anbar, Irak barat. Mereka akan fokus pada dukungan teknis, intelijen, dan koordinasi operasi lintas batas dengan pangkalan al-Tanf di Suriah.
Keputusan tersebut muncul setelah kesepakatan menguraikan pasukan yang kondisinya tidak kondusif yang seharusnya rampung pada bulan September 2025. Namun, menurut pejabat Irak, situasi di Suriah menuntut adanya penyesuaian terhadap kebijakan.
Al-Sudani juga menegaskan bahwa langkah ini bukanlah bentuk keberpihakan terhadap salah satu kekuatan asing. Irak, kata dia, berkomitmen untuk menjaga keseimbangan hubungan dengan AS dan Iran tanpa menjadi “proxy” dari pihak mana pun. “Kami mengutamakan kepentingan nasional Irak. Kami tidak ingin menjadi perpanjangan tangan siapa pun,” tegas al-Sudani.
Para analis menilai keputusan ini menunjukkan pendekatan pragmatis pemerintah Irak di tengah situasi geopolitik yang kompleks. Di satu sisi, Baghdad ingin menunjukkan kemandirian dalam urusan keamanan; Di sisi lain, Irak menyadari risiko kebangkitan ISIS jika koordinasi dengan pasukan koalisi benar-benar dihentikan secara total.
Meskipun ISIS tidak lagi menguasai wilayah seperti pada masa puncak tahun 2014–2017, sel-sel tidur kelompok ekstremis itu masih aktif di beberapa daerah gurun dan pegunungan di perbatasan Irak-Suriah.
Pemerintah Irak menegaskan bahwa prioritas utama tetap pada keamanan nasional, stabilitas regional, dan rekonstruksi pascaperang, sambil memastikan bahwa keberadaan pasukan asing tidak akan mengurangi kedaulatan negara.