Harakatuna.com. Surakarta — Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Mas Said Surakarta menyoroti ancaman meningkatnya radikalisme di ruang digital. Melalui kegiatan Workshop Penguatan Moderasi Beragama pada Era Digital yang digelar di Hotel Lor In Syariah, Surakarta, pada 31 Oktober–1 November 2025, LP2M mengukur pentingnya kolaborasi lintas sektor dan literasi digital untuk menanamkan nilai-nilai toleransi di dunia maya.
Kegiatan selama dua hari tersebut diikuti oleh sekitar 80 peserta yang terdiri dari akademisi, tokoh agama, aparatur pemerintah, serta aktivis organisasi masyarakat dari berbagai daerah di Jawa Tengah. Para peserta berdiskusi dan merumuskan strategi konkret memperkuat moderasi beragam di tengah derasnya arus informasi digital.
Ketua LP2M UIN Surakarta, Prof. Muhammad Latif Fauzi, mengatakan bahwa kegiatan ini menjadi wadah sinergi antara perguruan tinggi, pemerintah, dan masyarakat untuk membangun ruang digital yang damai dan inklusif.
“Workshop ini menjadi ruang sinergi untuk meneguhkan semangat moderasi beragama di era digital. Kita ingin membangun peradaban digital yang damai, di mana nilai-nilai toleransi bisa hidup berdampingan dengan kemajuan teknologi,” ujar Prof. Latif Fauzi.
Sementara itu, Wakil Rektor I UIN Raden Mas Said Surakarta, Dr. Zainul Abas, menekankan peran penting generasi muda dalam menjaga moderasi dan mencegah penyebaran paham ekstrem di dunia maya.
“Di tengah tantangan global yang semakin kompleks, moderasi beragama menjadi kunci untuk mencegah konflik dan menumbuhkan toleransi,” ucap Dr. Zainul.
“Di sini hadir anak-anak muda dari berbagai kalangan. Masa depan Indonesia dan masa depan moderasi bangsa ini ada di tangan-tangan kalian semua,” menambahkan dalam keterangan kepada Tribunnews.
Para peserta sepakat bahwa menjaga kerukunan dan melawan paham ekstremisme bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau lembaga pendidikan, melainkan kewajiban bersama seluruh elemen bangsa.
Radikalisme Dunia Maya Masih Jadi Ancaman Nyata
Isu radikalisme digital menjadi sorotan utama dalam forum ini. Peserta menilai, ruang media sosial kini banyak berisi kebencian, hoaks bernuansa SARA, serta propaganda ekstremisme yang menyasar pengguna muda.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), sepanjang Januari hingga Agustus 2025 tercatat sedikitnya 6.402 konten memuat radikalisme dan terorisme yang beredar di dunia maya. Angka tersebut menunjukkan bahwa ideologi kekerasan masih aktif menyebar melalui platform digital.
Prof. Latif menegaskan, fakta tersebut menjadi pengingat bahwa literasi digital dan moderasi beragama perlu terus diperkuat di seluruh lapisan masyarakat. “Ancaman radikalisme di dunia maya bukan hal abstrak. Ia nyata dan bergerak cepat. Maka, kolaborasi dan penguatan literasi menjadi kunci agar masyarakat, terutama generasi muda, tidak mudah terpapar,” tegasnya.
Lokakarya ini ditutup dengan deklarasi komitmen bersama untuk mengedepankan moderasi beragama dan etika bermedia, sebagai langkah nyata melawan narasi kebencian di ruang digital. “Kita berharap semangat toleransi dan kebinekaan dapat terus tumbuh, tidak hanya di dunia nyata tetapi juga di dunia maya,” pungkas Prof. Latif.