Harakatuna.com. Jakarta – Kriminolog dari Universitas Indonesia (UI), Adrianus Meliala, mengungkapkannya terkait maraknya penggunaan platform permainan dare atau permainan daring sebagai media baru bagi jaringan teroris dalam merekrut anak-anak dan remaja. Menurutnya, strategi ini masuk akal dalam konteks budaya digital yang sangat dekat dengan kehidupan generasi muda saat ini.
“Wajar jika siapa pun mencoba mempengaruhi orang lain melalui hal-hal yang disukai. Bagi anak-anak dan remaja, permainan daring adalah dunia yang menyenangkan dan membuat mereka bisa menghabiskan waktu berjam-jam,” ujar Adrianus saat dihubungi pada Rabu (15/10/2025).
Adrianus mencontohkan platform permainan daring seperti Roblox yang sering dijadikan pintu masuk oleh kelompok teroris untuk memulai interaksi awal dengan target sasaran. Ia menjelaskan, saat seorang anak atau remaja sudah terlibat secara intens dalam permainan, mereka mulai terbuka terhadap nilai-nilai yang disisipkan, meski secara tidak langsung.
“Anak-anak tidak hanya bermain, mereka juga menyerap nilai-nilai dari lingkungan digital tempat mereka berinteraksi, termasuk potensi paparan ideologi ekstrem,” tambahnya.
Lebih jauh lagi, Adrianus menegaskan bahwa anak dan remaja bukanlah satu-satunya target dari jaringan teroris. Menurutnya, kelompok ini memiliki strategi luas dengan menyasar berbagai kalangan sesuai dengan kebutuhan mereka.
“Misalnya, ada kelompok yang berdekatan dengan pemilik modal demi mendapatkan dana, ada yang mendekati politisi atau selebritas untuk mendapatkan pengaruh publik. Anak-anak dan remaja biasanya dibidik sebagai calon pelaku lapangan—baik sebagai penempu maupun ‘pengantin’,” katanya.
Dampak Psikologis dan Kerentanan Ekstremisme
Selain bahaya ideologi, Adrianus juga menyoroti dampak psikologis dari kecanduan game online. Ia menyebutkan bahwa adiksi terhadap game bisa menjadi gerbang awal menuju masalah yang lebih serius, termasuk keterpaparan terhadap jaringan ekstremis.
“Kalau anak mulai kecanduan dan menunjukkan perilaku aneh seperti tidak bisa lepas dari gawai, itu adalah tangga pertama menuju permasalahan yang lebih dalam,” ungkapnya.
Meski demikian, Adrianus menolak menganggap bahwa game online menyebabkan langsung keterlibatan anak-anak dalam terorisme. Baginya, game hanyalah salah satu faktor yang membuat anak menjadi lebih rentan.
“Game tidak membuat seseorang otomatis menjadi teroris. Tapi game bisa mencakup daya tahan psikologis anak terhadap pengaruh buruk dari luar. Untuk menjadi ekstremis, tetap membutuhkan interaksi lanjutan dengan pelaku penyebar ideologi,” jelas Adrianus.
Menangapi fenomena ini, Adrianus mendorong Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) agar mengambil langkah konkret. Ia menyarankan agar BNPT aktif bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Digital untuk menangani permainan dare yang terindikasi menjadi medium rekrutmen.
“BNPT memang tidak melarang game online, tapi mereka bisa memberikan saran atau rekomendasi agar game yang berisiko bisa ditakedown atau dibatasi aksesnya,” ujarnya.
BNPT: 13 Anak Terekrut lewat Roblox
Sebelumnya, Kepala BNPT Komjen Pol. Eddy Hartono dalam Rapat Koordinasi Lintas Kementerian di Jakarta pada 30 September 2025 menyampaikan bahwa ia menemukan setidaknya 13 anak dari berbagai daerah di Indonesia yang direkrut melalui permainan Daring Roblox.
“Mereka awalnya hanya bermain, tapi kemudian terhubung dengan kelompok simpatisan teroris. Prosesnya bertahap—dimulai dari dialog dalam game, lalu berlanjut ke aplikasi pribadi seperti Telegram dan WhatsApp, hingga akhirnya dilakukan proses indoktrinasi,” ungkap Eddy.
BNPT menyebut pola ini sebagai ancaman serius yang tidak boleh dianggap remeh. Anak-anak dan remaja dinilai menjadi kelompok yang paling mudah terpengaruh karena mereka cenderung mempercayai siapa pun yang hadir dalam dunia permainan mereka.