Harakatuna.com. Gaza – Gencatan senjata yang diumumkan pada 10 Oktober 2025 sempat membangkitkan harapan ribuan warga Jalur Gaza untuk kembali ke Khan Younis, kota di selatan Gaza yang sebelumnya menjadi tempat perlindungan terakhir di tengah serangan brutal militer Israel. Namun, ketika mereka pulang, yang tersisa hanyalah hamparan puing dan debu.
“Sekarang, seperti kebanyakan bagian Khan Younis, yang tersisa hanyalah menonton. Rumah impianku sudah hancur. Aku hanya bisa berdiri di atas tumpukan batu yang dulu disebut rumah,” tulis jurnalis Palestina Ruwaida Amer dalam kesaksiannya di Majalah +972dikutip MINAAhad (19/10).
Bagi Amer, kehancuran itu bukan sekadar hilangnya harta benda. Ia menggambarkan tragedi tersebut sebagai kehilangan kenangan, identitas, dan rasa aman. Rumah yang baru saja ia rekonstruksi setelah penghematan selama sepuluh tahun kini hilang dalam sekejap.
Di sekelilingnya, ribuan keluarga mengalami nasib serupa. Dinding-dinding yang dulu melindungi mereka kini runtuh, jalan-jalan berubah menjadi tumpukan puing, dan hanya papan nama jalan yang tersisa — tanda bahwa kehidupan pernah ada di sana.
Kota Khan Younis kini menjadi simbol dari kehancuran sistematis yang melanda seluruh wilayah Gaza. Serangan udara, tembakan tank, dan buldoser militer Israel menghancurkan blok perumahan, sekolah, hingga masjid tanpa pandang bulu. “Setiap kali kami berusaha membangun, mereka datang untuk menghancurkan lagi,” ungkap seorang warga dalam kesaksiannya kepada media lokal.
Namun, di balik layar itu juga muncul keteguhan luar biasa. Warga yang kini selamat berjuang membangun kembali kehidupan mereka — bukan sekadar rumah, melainkan juga harapan dan martabat. “Kami tidak tahu apakah kami punya tenaga untuk membangun lagi, tapi kami akan tetap tinggal di sini. Karena inilah satu-satunya tempat yang kami punya,” tulis Amer.
Dua Tahun Agresi, Puluhan Ribu Nyawa Hilang
Selama dua tahun agresi militer Israel di Gaza, lebih dari 67.000 orang tewas dan 170.000 lainnya luka-luka, sebagian besar perempuan dan anak-anak. Rumah sakit lumpuh, 70 persen stok obat habis, dan lebih dari setengah wilayah Gaza hancur total menjadi puing-puing.
Menurut data Jaringan Organisasi Masyarakat Sipil Palestina, biaya rekonstruksi diperkirakan mencapai 70 hingga 90 miliar dolar AS, atau sekitar 1,5 kuadriliun rupiah. Lebih dari 55 juta ton puing kini menutupi wilayah yang dulunya penuh kehidupan.
Citra udara yang dirilis Al Jazeera pada 16 Oktober 2025 menampilkan Khan Younis sebagai hamparan kosong tanpa bentuk, menekankan skala kehancuran yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Bagi warga Gaza, rekonstruksi sejati bukan hanya soal membangun gedung-gedung baru. Lebih dari itu, mereka menegaskan bahwa tidak akan ada pembangunan tanpa keadilan, dan tidak akan ada keadilan tanpa kebebasan.
Ketika dunia berbicara tentang rencana pembangunan miliaran dolar, rakyat Gaza berbicara tentang sesuatu yang lebih mendasar — hak untuk hidup di rumahnya sendiri. Hak paling sederhana yang seharusnya dijamin oleh kemanusiaan.