Harakatuna.com. Brussels – Uni Eropa berjanji segera eskalasi kekerasan di Sudan menyusul pengambilalihan kota El-Fasher, ibu kota wilayah Darfur, oleh Pasukan Dukungan Cepat (Rapid Support Forces/RSF).
Dalam pernyataan bersama, Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Kaja Kallas dan Komisaris Uni Eropa untuk Kemitraan Internasional Hadja Lahbib mengecam keras kekerasan yang menyasar warga sipil. “Penargetan warga sipil berdasarkan etnis merupakan kebrutalan,” tegas Kallas dan Lahbib dalam pernyataan resmi yang dikutip dari MINA.
Uni Eropa berjanji kembali komitmennya untuk terus mendukung kemanusiaan dan upaya diplomasi internasional dalam rangka mendorong gencatan senjata permanen di Sudan. Blok tersebut juga memastikan terjalinnya komunikasi dengan kedua belah pihak yang bertikai serta mitra global untuk membuka kembali jalur negosiasi damai.
“Uni Eropa akan terus bekerja sama dengan mitra internasional untuk memastikan akses kemanusiaan yang aman dan tanpa hambatan bagi warga yang terdampak konflik,” lanjut pernyataan itu.
Selain Uni Eropa, sejumlah negara Eropa seperti Prancis, Lituania, dan Denmark turut menyampaikan kecaman atas meningkatnya kekerasan di El-Fasher. Ketiganya mengancam agar RSF menghormati hukum humaniter internasional, menjamin perlindungan terhadap warga sipil, serta membuka akses penuh bagi bantuan kemanusiaan.
Sementara itu, laporan dari otoritas Sudan dan organisasi internasional menuduh RSF melakukan tindakan pelanggaran berat selama perebutan kota, termasuk penangkapan, penangkapan sewenang-wenang, dan pemindahan paksa warga sipil. Namun, pihak RSF membantah tuduhan tersebut dan menyatakan bahwa operasi yang dilakukan bertujuan untuk membersihkan El-Fasher dari sisa-sisa tentara dan pasukan sekutu yang berusaha melarikan diri dari kota.
Dalam pernyataannya, Uni Eropa juga menegaskan dukungan terhadap mekanisme akuntabilitas internasional guna menyelidiki dugaan kejahatan perang dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama konflik.
Sejak konflik meletus pada 15 April 2023, bentrokan antara Tentara Nasional Sudan (SAF) dan RSF telah membunuh ribuan orang serta memaksa lebih dari 15 juta warga mengungsi baik di dalam negeri maupun ke negara tetangga. Situasi kemanusiaan di wilayah tersebut kini digambarkan oleh PBB sebagai salah satu krisis terdalam di dunia.
“Komunitas internasional tidak boleh diam melihat penderitaan rakyat Sudan,” tegas Kallas. “Upaya diplomasi dan kemanusiaan harus berjalan beriringan untuk mencegah krisis ini semakin meluas,” tukasnya.