Harakatuna.com. Surabaya — Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya merangkum kerja sama strategi dengan Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri guna memperkuat upaya pencegahan penyebaran paham intoleransi, radikalisme, dan terorisme di kalangan anak-anak. Kolaborasi ini merupakan langkah antisipatif terhadap penyusupan ideologi ekstrem yang kian marak melalui platform digital, termasuk permainan dare (game online).
Langkah ini juga menanggapi peringatan dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), yang sebelumnya mengungkap bahwa setidaknya 13 anak di Indonesia telah terpapar paham radikal melalui game online yang dimanfaatkan oleh jaringan simpatisan teroris.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3APPKB) Kota Surabaya, Ida Widayati, menyebut radikalisme sebagai bentuk kekerasan psikis yang dapat merusak karakter anak secara perlahan tanpa disadari.
“Terornya tidak terlihat, tapi pelan-pelan bisa mengubah karakter anak. Ini bentuk kekerasan psikis yang harus diwaspadai,” ujar Ida dalam keterangannya, Sabtu (10/11/2025).
Menurutnya, kerja sama dengan Densus 88 menjadi momentum penting untuk memperluas edukasi bagi para guru, siswa, dan orang tua mengenai bahaya radikalisme, khususnya yang menyusup melalui dunia maya. “Selama ini kami sudah rutin mengedukasi anak-anak soal literasi digital. Tapi kolaborasi ini membawa materi baru yang perlu segera disampaikan,” jelasnya.
Pemkot Surabaya juga menggandeng berbagai perangkat daerah, termasuk Dinas Pendidikan (Dispendik), agar kegiatan sosialisasi tidak hanya menyasar siswa di sekolah, tetapi juga para orang tua di rumah. Ida menilai masih banyak orang tua yang kurang waspada terhadap aktivitas anak-anak mereka di dunia digital. “Banyak yang merasa anaknya aman karena diam di kamar, padahal bisa saja sedang mempelajari hal-hal yang merusak secara psikologis,” kata Ida mengingatkan.
Sebagai bagian dari penguatan ketahanan sosial masyarakat, Pemkot juga mengoptimalkan keberadaan Kampung Pancasila sebagai ruang edukatif berbasis masyarakat untuk menanamkan nilai-nilai kebangsaan dan menolak ideologi radikal. Materi pencegahan radikalisme akan dimasukkan ke dalam pilar sosial, budaya, dan kemasyarakatan di setiap kampung.
Selain pendekatan formal melalui institusi pendidikan dan pemerintahan, Pemkot juga melibatkan komunitas anak dan remaja seperti Organisasi Pelajar Surabaya (Orpes), Forum Anak Surabaya (FAS), dan Duta Generasi Berencana (Genre) sebagai agen perubahan. Mereka aktif menyuarakan kampanye pencegahan dari anak untuk anak. “Anak-anak FAS sudah sering berbicara di balai RW, menyampaikan materi pencegahan kekerasan dan radikalisme. Responsnya bagus,” tutur Ida.
Ia menilai, pendekatan sesama anak terbukti efektif, apalagi jika dipadukan dengan semangat nasionalisme yang ditanamkan melalui kegiatan seperti Pasukan Pengibar Bendera (Paskibra).
“Kami bergerak dari anak ke anak, dan itu efektif. Nilai persahabatan lebih mudah diterima oleh sesama,” tambahnya.
Meski begitu, Ida menekankan bahwa peran orang tua tetap menjadi kunci utama dalam mencegah paparan ideologi radikal yang masuk melalui dunia digital.
“Orang tua harus masuk ke dunia anak-anak. Karena semakin ke sini, tidak semua yang mereka temui di dunia digital itu baik,” tutupnya.