
Harakatuna.com. Jakarta – Maraknya gerakan kritis di media sosial dengan berbagai tagar seperti #PeringatanDarurat, #IndonesiaGelaphingga 17+8 menjadi sorotan publik. Di balik dinamika ini, terdapat kekhawatiran bahwa kekuatan tidak bertanggung jawab dapat menunggangi gerakan rakyat yang sejatinya murni.
Pakar komunikasi digital dan Chief Operating Officer (COO) Growth Monks, Haryo Moerdaning Putro, menilai fenomena ini sebagai bentuk baru dari demokratisasi narasi yang lahir dari media sosial. “Media sosial melahirkan narasi demokratisasi dan membuka ruang partisipasi publik yang belum pernah ada sebelumnya. Ini menjadi wadah munculnya gerakan massa digital yang memiliki banyak dampak positif,” ujar Haryo dalam keterangannya, Rabu (8/10/2025).
Namun di sisi lain, Haryo menegaskan bahwa ruang digital juga menyimpan potensi ancaman. Berdasarkan hasil mendengarkan media sosial Dan riset yang dilakukan pengiklan, terdapat indikasi adanya pihak-pihak yang mencoba memanfaatkan momentum gerakan rakyat untuk kepentingan ideologi-ideologi yang berbahaya. “Tak bisa dipungkiri adanya potensi ancaman dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dengan ideologi radikal yang memanfaatkan gerakan rakyat sebagai kuda Troya,” tegasnya.
Kekuatan di Balik Layar Media Sosial
Lebih lanjut, Haryo mengungkapkan bahwa apa yang terlihat di permukaan media sosial hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan ekosistem digital. Di balik setiap unggahan, ada kekuatan algoritma, pembuat konten, influencer besar dan mikro, serta aktor-aktor digital seperti buzzer, tentara siberbahkan media tanpa redaksi (media tunawisma).
“Semua elemen ini jika dijahit dengan tepat bisa digunakan untuk mengendalikan tren digital, membentuk persepsi netizen, dan mempengaruhi diskursus publik. Jika berada di tangan yang tepat, ini bisa menjadi kekuatan positif. Namun, jika disalahgunakan oleh kelompok radikal, akan sangat berbahaya,” jelas Haryo.
Ia pun mengimbau semua pihak, mulai dari masyarakat umum, aktivis gerakan sosial, hingga pemerintah dan aparat penegak hukum untuk menyikapi dinamika ini dengan jernih dan hati-hati. “Gerakan massa yang kritis terhadap pemerintah harus waspada. Jangan sampai kepedulian mereka terhadap bangsa dibelokkan oleh aktor-aktor yang ingin menciptakan instabilitas sosial-politik,” ujarnya.
Di sisi lain, pemerintah dan aparat juga diminta untuk tidak serta-merta mengeneralisasi gerakan di media sosial sebagai sesuatu yang negatif. “Tidak semua gerakan kritis itu ditunggangi, tapi tidak semuanya juga murni. Di sini pentingnya kemampuan memilah secara presisi,” papar Haryo.
Rawat Media Sosial sebagai Ruang Demokrasi
Kendati demikian, Haryo tetap berpandangan bahwa kehadiran media sosial sebagai ruang publik digital harus dijaga dan dijaga bersama. “Media sosial harus tetap menjadi balai warga digital, bukan pabrik konten radikal. Ini memerlukan upaya kolektif dari semua pihak,” ujarnya.
Untuk itu, ia mendorong adanya penguatan edukasi digital kepada masyarakat. Menurutnya, kolaborasi antara pemerintah, aparat hukum, pemilik platform, akademisi, dan komunitas digital menjadi kunci agar media sosial berfungsi optimal sebagai ruang demokrasi.
Ia juga menekankan pentingnya peningkatan kualitas komunikasi publik oleh pemerintah agar dapat menjangkau lebih luas dan merespons dinamika masyarakat secara efektif.