
Republiktimes.com – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menggelar Media Talk bertajuk “Menanti Putusan Kasus Eks Kapolres Ngada: Ujian Keadilan dan Perlindungan Anak”, pada Senin (20/10/2025). Hal itu dilakukan sebagai bentuk komitmen lembaga dalam mengawali penyediaan hak anak korban kekerasan secara seksual, serta memastikan proses hukum berjalan dengan prinsip keadilan dan perlindungan anak.
Kasus dugaan kekerasan seksual terhadap anak-anak yang melibatkan eks Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmadja, menjadi perhatian publik luas karena menyentuh dua aspek fundamental: keadilan hukum dan perlindungan anak. KPAI menilai, penanganan kasus ini merupakan tolak ukur sejauh mana sistem hukum nasional berpihak kepada korban anak, bukan semata-mata soal pemberian hukuman bagi pelaku.
“Setiap proses hukum terhadap kekerasan seksual anak harus menempatkan korban sebagai hal utama. Keadilan sejati bukan hanya vonis bagi pelaku, tetapi juga Pemulihan yang menyeluruh bagi korban dan keluarganya,” ujar Anggota KPAI, Dian Sasmita, dalam paparannya.
Media Talk ini juga menghadirkan Umbu Kabunang Rudi Yanto Hunga (Anggota Komisi XIII DPR RI) dan Greg Retas Daeng (Koordinator Forum Advokasi Perempuan Diaspora NTT), yang menyoroti pentingnya transparansi dan kepekaan aparat penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual terhadap anak.
Umbu Kabunang menekankan, pentingnya pengawasan publik dalam setiap tahapan konflik kasus kekerasan seksual terhadap anak.
“Masyarakat harus hadir mengawasi, bukan untuk berdemo, tetapi memberi dampak psikologis positif kepada hakim agar putusan benar-benar mencerminkan keadilan. Saya juga meminta Komisi Yudisial menurunkan tim pengawas ke konferensi untuk memastikan proses berjalan obyektif dan transparan,” ujarnya.
Umbu Kabunang juga mengganggu pentingnya evaluasi psikologis dan kesehatan secara berkala bagi aparat dan pejabat publik, untuk mencegah penyimpangan perilaku yang berpotensi melahirkan tindak kekerasan seksual di lingkungan birokrasi dan penegakan hukum.
“Sistem pengawasan internal dan psikotes perlu diterapkan secara berkala. Ini bentuk pencegahan, bukan sekadar reaksi setelah ada korban,” tambahnya.
Sementara itu, Greg Retas menyoroti, bahwa penanganan kasus eks Kapolres Ngada ini menunjukkan masih lemahnya sensitivitas aparat hukum terhadap korban anak.
“Kami sangat prihatin ketika ada keterangan ahli yang menyebut ‘anak yang melacurkan diri bukan korban’. Pernyataan seperti itu menyakiti keadilan dan mengabaikan fakta bahwa anak tetap korban dalam situasi eksploitasi,” tegas Greg Retas.
Greg Retas menambahkan, standar etik bagi advokat, ahli, dan penegak hukum harus mencerminkan perspektif perlindungan anak dan kesetaraan gender, agar proses hukum tidak menjadi sumber luka baru bagi korban.
“Kami berharap majelis hakim menjadikan hati nurani sebagai dasar putusan, mengeliminasi pandangan yang menyalahkan korban, dan menjatuhkan putusan yang berpihak pada pemulihan anak,” ujarnya.
Ia juga mengungkapkan, bahwa Forum Perempuan Diaspora NTT bersama jaringan advokasi lainnya, akan terus mengawal proses pasca putusan, termasuk mendorong eksaminasi publik terhadap hasil putusan, guna memastikan keadilan substantif benar-benar ditegakkan.
KPAI menegaskan bahwa prinsip kepentingan terbaik bagi anak sebagaimana diatur dalam Konvensi Hak Anak dan Undang-undang No. 35 Tahun 2014, tentang Perlindungan Anak harus menjadi pedoman utama dalam setiap tahapan proses hukum. Negara, termasuk aparat penegak hukum, berkewajiban menjamin perlindungan, keadilan, serta pemulihan anak korban kekerasan seksual tanpa diskriminasi.
“Keadilan yang berperspektif anak harus mencakup tiga hal penting: kebenaran hukum, pemulihan korban, dan pencegahan berulangnya kekerasan,” tegas Dian.
Melalui forum ini, KPAI mengajak semua pihak memberikan perhatian khusus pada putusan pengadilan tanggal 21 Oktober 2025 di PN Kupang. Kasus ini telah dikawal bersama sejak Maret 2025, dan KPAI juga telah mengirimkan dokumen amicus curiae ke PN Kupang pada awal September 2025. Jaksa menuntut pembelaan dengan hukuman 20 tahun penjara, denda Rp 5 miliar, dan restitusi Rp 359,1 juta untuk tiga korban.