Harakatuna.com. Sidney – Pemerintah Australia menegaskan bahwa kembalinya enam perempuan yang pernah tinggal di wilayah kekuasaan ISIS di Suriah dilakukan tanpa keterlibatan atau bantuan resmi dari negara. Mereka kembali ke Australia setelah sebelumnya sempat ditahan di Lebanon karena tidak memiliki dokumen perjalanan sah.
Perdana Menteri Anthony Albanese menjelaskan bahwa meskipun para perempuan tersebut adalah warga negara Australia, proses pemulangan dilakukan secara mandiri. Pemerintah tidak memberikan dukungan logistik maupun diplomatik dalam kepulangan mereka.
“Pemerintah tidak memberikan bantuan dalam kasus ini. Setiap warga Australia berhak kembali ke negaranya, dan mereka menjalani proses itu sendiri,” ujar Albanese kepada media pada Senin (6/10).
Keenam perempuan yang kerap disebut “Pengantin ISIS” sebelumnya berada di kamp pengungsian di Suriah setelah kelompok teroris Negara Islam (ISIS) kehilangan wilayah kekuasaannya. Mereka dilaporkan ditahan oleh otoritas Lebanon saat mencoba kembali ke Australia tanpa paspor. Setelah melalui proses verifikasi identitas dan pemeriksaan keamanan, mereka akhirnya pulang.
Salah satu dari mereka, Nesrine Zahab, mengaku bahwa dirinya ditipu untuk pergi ke Suriah pada tahun 2014, di mana ia kemudian menikah dengan anggota ISIS. Ia mengungkapkan bahwa suaminya dieksekusi oleh kelompok tersebut pada tahun 2018.
“Saya tidak pernah mendukung kekerasan atau keterlibatan dalam aksi teror. Saya hanya ingin kembali dan membesarkan anak-anak saya dengan aman di Australia,” kata Zahab dalam wawancara terbatas setelah kepulangannya.
Pernyataan pemerintah ini memicu tanggapan dari oposisi yang menuntut transparansi lebih lanjut. Wakil Pemimpin Oposisi, Sussan Ley, menyampaikan ceramahnya dan meminta klarifikasi menyeluruh terkait proses yang memungkinkan kembalinya individu-individu dengan latar belakang tersebut ke tanah air.
“Warga berhak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, siapa yang terlibat, dan bagaimana pemerintah memastikan keselamatan masyarakat,” tegas Ley dalam konferensi pers di Canberra.
Kelompok masyarakat juga menyuarakan kekhawatirannya. Organisasi Young Assyrians, yang mewakili komunitas diaspora dari wilayah konflik, menyatakan bahwa kembalinya perempuan yang terafiliasi dengan ISIS bisa melukai para penyintas kekejaman kelompok itu.
“Kami merasa langkah ini sangat sensitif bagi korban kekerasan ISIS. Kami menuntut pendekatan yang lebih hati-hati dan terbuka dari pemerintah,” tulis Young Assyrians dalam pernyataan resminya.
Meskipun pemerintah menegaskan tidak terlibat langsung, Menteri Dalam Negeri Clare O’Neil menyatakan bahwa aparat keamanan telah dan akan terus menjaga situasi secara ketat untuk memastikan tidak ada risiko terhadap keamanan nasional.
“Semua individu yang kembali telah melalui proses pemeriksaan intensif oleh otoritas keamanan. Kami tidak akan berkompromi terhadap keamanan warga,” kata O’Neil.
Hingga saat ini, belum ada keputusan lebih lanjut mengenai nasib warga negara Australia lainnya yang masih berada di kamp pengungsian di Suriah. Pemerintah menyatakan bahwa setiap kasus akan dipertimbangkan secara individual dengan mengutamakan prinsip hukum dan keselamatan masyarakat.