
Harakatuna.com. Kabul — Pemerintah Taliban secara terbuka menuduh Pakistan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas dua ledakan dahsyat yang terjadi secara terpisah di Kabul dan provinsi Paktika pada Kamis (9/10). Tuduhan ini menandai babak baru dalam ketegangan yang terus memburuk antara kedua negara bertetangga.
Pernyataan resmi Taliban disampaikan sehari setelah kejadian terjadi. Sebelumnya, otoritas Taliban menyebut ledakan tersebut sebagai “kecelakaan” yang masih dalam penyelidikan. Namun, pada Jumat (10/10), nada pernyataan berubah drastis. “Pakistan adalah pihak yang harus bertanggung jawab atas ledakan ini,” ujar juru bicara Kementerian Pertahanan Afghanistan dalam konferensi pers di Kabul, meski tidak disertai bukti teknis atau forensik yang mendukung klaim tersebut.
Pembicaraan tersebut memicu spekulasi luas di media sosial, baik di Afghanistan maupun Pakistan. Banyak yang memperkirakan ledakan itu menyasar petinggi kelompok Tehrik-i-Taliban Pakistan (TTP), termasuk pemimpinnya, Noor Wali Mehsud. Namun, Taliban dengan cepat membantah kabar tersebut. “Pemimpin TTP, Noor Wali Mehsud, dalam keadaan selamat,” demikian pernyataan singkat Taliban untuk meredam ideologi.
Peristiwa ini terjadi bertepatan dengan kunjungan Menteri Luar Negeri Taliban, Amir Khan Muttaqi, ke India — sebuah langkah diplomatik yang dianggap semakin menjauhkan Taliban dari Pakistan, yang selama ini dianggap sebagai sekutu bersejarah.
Pakistan Balik Menyalahkan Taliban
Sementara Taliban melontarkan tuduhan, pihak Pakistan belum memberikan konfirmasi tegas atas dugaan keterlibatan mereka. Namun, juru bicara militer Pakistan, Walikota Jenderal Ahmad Sharif, menekankan bahwa wilayah Afghanistan sering digunakan sebagai basis serangan terhadap negaranya.
“Afghanistan telah menjadi tempat beroperasinya kelompok-kelompok teroris yang menyerang Pakistan. Kami memiliki bukti-bukti yang kuat. Pakistan akan terus mengambil tindakan yang diperlukan untuk melindungi rakyatnya,” tegas Sharif dalam konferensi pers yang pada diadakan hari Jumat.
Senada dengan itu, Menteri Pertahanan Pakistan, Khawaja Asif, dalam pidatonya di parlemen, mengecam pemerintahan Taliban karena dianggap gagal mengendalikan kelompok-kelompok bersenjata yang menyerang wilayah Pakistan. “Sudah bertahun-tahun kami bernegosiasi, utusan datang dan pergi ke Kabul. Tapi darah terus tumpah di tanah kami. Kami telah menampung enam juta pengungsi Afghanistan selama lebih dari 60 tahun, dan sekarang kami membayar dengan nyawa rakyat kami,” kata Seolah olah.
Data dari lembaga pemantau konflik ACLED mencatat, sejak awal 2025, lebih dari 600 serangan yang dilakukan oleh TTP terhadap militer Pakistan — angka yang hampir menyamai total kekerasan sepanjang tahun 2024. Serangan terbaru yang terjadi di provinsi Khyber Pakhtunkhwa bahkan menyerang puluhan tentara Pakistan.
Ketegangan antara Islamabad dan Kabul juga diperparah oleh kampanye deportasi besar-besaran yang diluncurkan Pakistan sejak November 2023. Hampir satu juta pengungsi Afghanistan telah ditarik, dalam kebijakan yang dikritik oleh berbagai kelompok hak asasi manusia. Pakistan sebelumnya menjadi negara tujuan utama bagi para pengungsi Afghanistan sejak invasi Soviet pada tahun 1980-an, hingga rezim Taliban pertama dan keruntuhan Kabul pada tahun 2021.
Pertemuan pada Kamis lalu disebut sebagai salah satu insiden paling sensitif yang terjadi di Afghanistan sejak pembunuhan pemimpin al-Qaeda Ayman al-Zawahiri oleh serangan drone AS di Kabul pada 2022. Situasi ini memicu dapat memicu konflik yang lebih luas jika kedua negara tidak segera meredakan ketegangan.