
Harakatuna.com. Jakarta – Mantan amir Jemaah Islamiyah (JI), Ustadz Para Wijayanto, menekankan pentingnya pelurusan literasi keagamaan agar umat Islam tidak salah kaprah dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an, terutama yang sering dijadikan referensi kelompok radikal.
Menurutnya, salah satu kesalahpahaman muncul dalam penafsiran Surat Al-Maidah ayat 44–47, yang sering dianggap sebagai dasar mengkafirkan seseorang yang tidak berhukum pada hukum Allah. “Selama ini, teks-teks yang dipakai—seperti tentang ḥākimiyyah dan takfir—diambil secara literal tanpa mempertimbangkan konteks sejarah dan tafsir ulama muktabar,” ujar Ustadz Para Wijayanto dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema Strategi Kontranarasi terhadap Isu Intoleransi, Radikalisme, Ekstremisme, dan Terorisme (IRET) pada Senin (13/10/2025).
Tafsir Kufur: Besar dan Kecil
Dalam forum yang sama, Guru Besar Ilmu Politik Hukum Islam Prof. JM Muslimin menjelaskan bahwa para mufasir klasik seperti Ibnu Abbas, Al-Qurtubi, dan Ar-Razi membedakan antara dua jenis kufur. “Para mufasir klasik membedakan dua kufur. Pertama kufur besar (kufr akbar), yaitu menolak hukum Allah secara keyakinan. Sementara kufur kecil (kufr duna kufr) adalah meninggalkan hukum Allah karena hawa nafsu, namun tetap meyakini kebenarannya.” papar Prof.JM Muslimin.
Konteks Moderasi dan Larangan TakfirPakar hadis dari Darusunnah, Ustadz Muhammad Hanifuddin, menambahkan bahwa Nabi Muhammad SAW sendiri melarang praktik saling mengafirkan sesama muslim. “Rasulullah SAW melarang saling mengafirkan sesama Muslim dan mengajarkan prinsip bahwa tidak semua kafir boleh diperangi,” ungkapnya.
Ia menilai hadis-hadis tersebut dapat dijadikan landasan etika dalam membangun kontranarasi terhadap kelompok ekstrem yang keliru dalam memahami ajaran Islam. “Hadis-hadis semacam ini adalah fondasi etika kontranarasi,” tambahnya.
Strategi Kontranarasi Berjenjang
Forum tersebut juga menyepakati pentingnya strategi berjenjang dalam menyebarkan narasi moderat atau Wasathiyatul Islam. Menurut Dewan Pakar Rumah Wasathiyah, Irjen Pol (Purn) Hamli, penyebaran kontra radikalisme perlu dilakukan melalui literasi akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah (Asy’ariyah–Maturidiyah) yang bersifat adaptif.
“Kontranarasi harus diarahkan secara spesifik kepada dua sasaran, yakni eks-napiter atau mereka yang sudah punya pengalaman ideologis, dan kelompok rentan atau mereka yang baru terpapar,” jelas Hamli.
Strategi yang diusulkan meliputi diskusi publik secara offline dan online, produksi konten singkat berbasis hadis rahmah dan ukhuwah, serta melibatkan mantan pelaku sebagai pembawa pesan agar lebih kredibel. Cendekiawan muslim dari Ponpes Darussunnah, Ustadz Izzah Farhatin Ilmi, menekankan perlunya pengembangan modul literasi keislaman kontekstual bagi masyarakat perkotaan dan kalangan muda.
“Tradisi perdamaian adalah keteladanan Nabi. Hadis-hadis tentang kasih sayang, perlakuan terhadap tetangga, dan penghormatan lintas agama harus dimunculkan sebagai inspirasi narasi damai,” tegasnya.
FGD ini dihadiri oleh sejumlah cendekiawan dan tokoh muslim muda, di antaranya pakar turot dan alumni Universitas Al-Azhar Mesir Dr. Ahmad Ginanjar Sya’ban, pengasuh pondok pesantren Dr. Mohammad Yusni Amru Ghazali, serta peneliti terorisme Universitas Indonesia (UI) Solahuddin.
Mereka sepakat bahwa penguatan literasi keagamaan moderat menjadi kunci dalam membangun masyarakat damai dan berukhuwah, sekaligus meredam narasi intoleransi dan radikalisme di Indonesia.