
Harakatuna.com. Kolombo – Kelompok-kelompok pegiat hak asasi manusia di Sri Lanka menyambut baik pernyataan tegas Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (Dewan HAM PBB) yang memperingatkan konsekuensi penggunaan Undang-Undang Pencegahan Terorisme (PTA) di negara tersebut. Mereka mendesak Presiden Anura Kumara Dissanayake untuk segera mencabut undang-undang kontroversial yang dinilai membatasi kebebasan sipil dan digunakan untuk menindas kaum minoritas.
PTA dan sejumlah isu HAM lainnya dibahas dalam sesi ke-60 Dewan HAM PBB di Jenewa, yang berlangsung selama sebulan dan berakhir pada 8 Oktober 2025. “PTA merongrong hak-hak dasar seperti kebebasan fisik, pembukaan yang adil, kebebasan dari penyiksaan, serta kebebasan berpikir dan berekspresi,” kata Nalin Attapattu dari organisasi Berpihak pada Hak-hak Minoritasdalam pernyataannya kepada Berita UCA pada tanggal 8 Oktober.
Attapattu menyoroti bahwa Partai Kekuatan Rakyat Nasional yang dipimpin Presiden Dissanayake sebelumnya telah berkomitmen dalam manifesto politiknya untuk mencabut UU tersebut. Bahkan pada Februari lalu, pemerintah telah membentuk komite untuk menyusun rancangan undang-undang antiterorisme yang baru. “Namun, meskipun ada berbagai janji politik, sungguh mengecewakan bahwa pemerintah tetap mempertahankan penggunaan PTA,” ujarnya.
Dalam laporan tahunan yang dirilis selama sidang, Dewan HAM PBB mencatat bahwa pengecualian berdasarkan PTA masih berlangsung, dan kebijakan tersebut “secara tidak proporsional mempengaruhi individu dari komunitas Tamil dan Muslim.”
PBB mendesak pemerintah Sri Lanka untuk “segera memberlakukan moratorium terhadap penggunaan UU tersebut serta mempercepat proses pencabutannya.” Laporan itu juga menekankan bahwa setiap bentuk legislasi antiterorisme harus sepenuhnya sejalan dengan hukum internasional dan prinsip-prinsip HAM.
Para aktivis HAM juga menyoroti kasus Liyaudeen Mohamed Rusdi, seorang pemuda Muslim yang ditangkap karena menyebarkan stiker yang mengkritik tindakan Israel di Gaza. Penahanannya dilakukan berdasarkan PTA. Komisi HAM Nasional Sri Lanka (Komnas HAM) pada 12 Juni lalu menyatakan bahwa Rusdi “tidak sah dan sewenang-wenang.” Komisi tersebut merekomendasikan agar Rusdi menerima kompensasi finansial yang layak serta mendorong reformasi kelembagaan untuk mencegah pelanggaran serupa.
Rusdi ditahan selama 14 hari tanpa pernah membayangkan ke pengadilan. Komnas HAM menegaskan bahwa tindakan itu melanggar Pasal 10 Konstitusi, yang menjamin kebebasan berpikir, hati nurani, dan beragama.
Ancaman terhadap Jurnalis dan Aktivis
Sejumlah kasus lain juga menunjukkan bagaimana PTA digunakan untuk membungkam suara kritis. Aktivis HAM Tamil, M. Selvakumar, mengungkapkan bahwa jurnalis foto Kanapathipillai Kumanan dipanggil ke pengadilan pada Agustus karena laporan investigatifnya terkait kuburan massal Chemmani di Jaffna, yang diduga menjadi tempat penguburan massal warga Tamil oleh militer selama masa perang saudara.
“Para pembela HAM terus-menerus diinterogasi dan ditangkap dengan alasan yang sama, yaitu PTA,” ujar Selvakumar kepada Berita UCA. Ia berbasis di Batticaloa, wilayah timur Sri Lanka yang banyak dihuni etnis Tamil.
Presiden Anura Kumara Dissanayake, politisi berhaluan kiri, baru menjabat sejak 22 September 2024 setelah mengakhiri dominasi politik dinasti yang telah berlangsung puluhan tahun di Sri Lanka. Namun, masa awal pemerintahannya mendapat sorotan tajam dari komunitas internasional.
Organisasi HAM global Civicus Monitor, dalam laporan tertanggal 19 September, menilai tahun pertama pemerintahan Dissanayake sebagai “kegagalan dalam mereformasi undang-undang yang represif dan menangani pelanggaran HAM masa lalu.”
“Pemerintah telah melanjutkan warisan represif yang melemahkan, menghalangi kerja masyarakat sipil, melecehkan para pembela HAM, dan membungkam suara media,” ujar Josef Benedict, peneliti Civicus untuk kawasan Asia.
Dengan semakin banyaknya kasus pelanggaran HAM yang dikaitkan dengan PTA, tekanan terhadap pemerintah Sri Lanka untuk segera mencabut UU tersebut semakin menguat. Para aktivis aktivis menekankan bahwa pencabutan PTA adalah langkah awal yang sangat penting untuk memulihkan demokrasi, keadilan, dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum di negara itu.