
Harakatuna.com – Praktik sunat perempuan di Indonesia kembali menjadi sorotan. Dalam Sosialisasi Pencegahan Sunat Perempuan atau P2GP yang digelar PUAN Amal Hayati bekerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) serta UNFPA pada Kamis (16/10) di Hotel Grand Cemara, Menteng, Jakarta Pusat, para tokoh agama dan tenaga medis pencahayaan total praktik tersebut. Alasannya jelas: sunat perempuan tidak memiliki dasar syariat yang kuat dan terbukti membahayakan kesehatan perempuan.
Data yang dibawakan dalam forum itu mencengangkan. Setidaknya 13,4 juta perempuan Indonesia berusia di bawah sebelas tahun telah mengalami pemotongan atau pelukaan alat kelamin tanpa alasan medis.
Praktik ini, sebagaimana diungkap hasil penelitian Komnas Perempuan dan PSKK UGM (2017), masih berlangsung dalam berbagai nama tradisi: dari nyepitan di Banten, suci di Lombok Barat, mandi lemon di Gorontalo, hingga rasulan di Indramayu dan kattang di Makassar. Namanya mungkin berbeda, tetapi hakikatnya satu: tindakan tanpa manfaat medis yang melukai tubuh dan psikologis perempuan.
Dalam sambutannya, perwakilan panitia Izza Farhatin Ilmi menegaskan bahwa isu ini bukan sekedar urusan adat atau tradisi, melainkan tanggung jawab kemanusiaan. Dewi Ekawati, yang ikut memberi Berry, menambahkan bahwa praktik sunat perempuan telah terbukti berdampak negatif terhadap alat reproduksi perempuan, mulai dari pendarahan hingga komplikasi saat melahirkan. “Kemanfaatannya belum pernah terbukti secara medis, sedangkan risikonya nyata,” tegasnya.
Nada yang sama disuarakan Fadilah, yang menekankan aspek kemanusiaan dan psikologis. “Sunat perempuan bukan praktik medis, dan yang lebih berbahaya, ia meninggalkan luka fisik serta trauma psikologis jangka panjang,” ujarnya.
Trauma yang dimaksud bukan hanya rasa sakit sesaat, tetapi juga ketakutan dan kehilangan rasa aman atas tubuh sendiri—sesuatu yang seharusnya dilindungi oleh ajaran agama.
Dalam sesi paparan medis, Dr. Imran mengungkap data yang memperkuat urgensi pencegahan P2GP. Berdasarkan survei, 46,3 persen perempuan Indonesia usia 15-49 tahun pernah mengalami bentuk sunat perempuan, dan ironisnya, sebagian besar dilakukan oleh bidan.
“Karena di desa, bidan sering menjadi satu-satunya tenaga kesehatan. Namun ketika orang tua memaksa sementara bidan menolak, mereka akan mencari dukun. Risiko komplikasi meningkat tajam,” terang Dr. Imran.
Ia menjabarkan dampak medisnya secara rinci: luka, infeksi, nyeri hebat, hingga gangguan saluran kemih, keputihan berulang, nyeri haid, bahkan kesulitan melahirkan. Dampak jangka panjang tak kalah berat, mulai dari jaringan parut dan keloid, gangguan fungsi seksual, hingga depresi dan stres pascatrauma.
“Medikalisasi tidak bisa dijadikan pembenaran. Justru tenaga kesehatan harus menjadi pelindung, bukan pelaku. Kementerian Kesehatan sudah menegaskan: peran kita adalah mengedukasi, bukan membayangkan,” tegasnya.
Pandangan keagamaan yang disampaikan Muhim Nailul Ulya, akademisi dan ulama muda yang menyoroti akar kesalahpahaman teks keagamaan. Ia menegaskan bahwa tubuh perempuan diciptakan berbeda dari laki-laki, baik secara biologis maupun fungsi reproduksi. “Islam menekankan perlindungan jiwa, psikis, dan martabat perempuan. Maka segala praktik yang mengancam hal itu bertentangan dengan tujuan syariat,” ujarnya.
Ia mengutip prinsip maqashid syariat yang diajarkan Imam al-Ghazali: bahwa melindungi jiwa, akal, dan organ kelamin merupakan bagian dari tujuan utama syariat. Oleh karena itu, tindakan yang menimbulkan luka dan trauma jelas melanggar prinsip dasar agama.
“Sunat perempuan tidak pernah disyariatkan Nabi. Tidak ada satu pun riwayat sahih yang menyebut Rasulullah mengkhitan putri-putrinya. Bahkan Darul Ifta’ Mesir sudah mengharamkan praktik ini, dan pelakunya bisa dijerat pidana,” tegasnya.
Ulya menambahkan, banyak hadis yang sering dijadikan pembenaran praktik sunat perempuan ternyata bermasalah dari segi sanad dan konteksnya. Sebagian besar tidak dapat dijadikan dasar hukum.
“Kaidah fikih menegaskan bahwa mencegah kerusakan lebih diutamakan daripada mendatangkan kemaslahatan. Dalam hal ini, mudharat P2GP jauh lebih besar daripada manfaat yang diklaim,” ujarnya.
Pandangan tersebut sekaligus menjawab pertanyaan peserta yang mengulas bagaimana strategi advokasi yang efektif jika masyarakat justru Merujuk pada hadis atau pendapat tokoh agama. Ulya menilai, akar permasalahannya terletak pada ketidaktahuan masyarakat terhadap bahaya P2GP. “Selama masyarakat tidak diberi pengetahuan yang utuh, teks keagamaan akan terus disalahpahami,” ujarnya.
Diskusi ini menunjukkan satu kesimpulan penting: bahwa sunat perempuan di Indonesia adalah praktik yang lebih banyak didorong oleh tekanan budaya dan ketidaktahuan, bukan perintah agama.
Dalam konteks keindonesiaan yang majemuk, pendekatan pencegahan harus dilakukan secara lintas sektor—melibatkan tenaga medis, tokoh agama, media, dan masyarakat sipil. Pemerintah pun diingatkan untuk memperkuat kebijakan yang melarang tenaga kesehatan memberikan layanan P2GP serta memperluas pendidikan masyarakat tentang bahaya praktik ini.
Sosialisasi ini tidak sekadar menjadi ajang berbagi data, tetapi juga momentum membangun kesadaran baru: bahwa tubuh perempuan bukan medan uji tradisi, dan agama bukanlah alat legitimasi kekerasan.
Dalam konteks maqashid syariat, menjaga martabat dan keselamatan perempuan bukan hanya isu hak asasi manusia, tetapi juga ibadah. Karena dibalik setiap luka yang diabaikan, adanya pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan yang justru menjadi inti dari ajaran Islam itu sendiri.